Pada Selasa (7/12), seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia, memperingati tahun baru Islam, 1 Muharram 1432 H. Peringatan ini untuk mengenang kembali masa-masa awal saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Seperti diketahui, sebelum berhijrah, Nabi Muhammad SAW dan umat Islam yang berada di Kota Makkah mendapatkan berbagai ujian dan cobaan yang tak henti-hentinya. Ujian itu datang dari Allah (setelah wafatnya paman Nabi SAW, Abu Thalib, dan istri Rasulullah, Khadijah binti Khuwailid) diiringi gangguan kaum kafir Quraisy.
Nabi Muhammad SAW sedang bersedih. Orang-orang kafir Quraisy pun mengolok-oloknya, “Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.” Begitulah ungkapan orang-orang kafir menyinggung diri Rasulullah sepeninggal Abu Thalib (paman) dan Siti Khadijah RA (istri). Ia kesepian. Hatinya terasa kering karena beberapa lama wahyu baru yang ditunggu tidak kunjung datang.
“Padahal, bagi Nabi Muhammad, wahyu adalah satu-satunya bekal untuk menghadapi beratnya medan perjuangan. Wahyu laksana minuman pelepas dahaga sekaligus hiburan dari Kekasih Tercinta,” kata Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, mengomentari kegelisahan hati Rasul SAW.
Dalam keguncangan jiwa itu, turunlah surah Ad-Dhuha. Di ayat ke-5 dalam surah itu, Allah berfirman, “Kelak, Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” Yang dimaksud karunia tersebut, kata Sayyid Quthb, adalah pertolongan dalam dakwah. Allah akan menghilangkan rintangan dakwah Nabi-Nya, meninggikan manhaj-nya, serta memenangkan hak-haknya.
Apa yang dijanjikan Allah dalam surah Ad-Dhuha tercapai beberapa tahun setelah hijrah. Tepatnya, tahun ke-10 Hijriah. Rasulullah berhasil merebut Makkah, kota yang sangat beliau cintai karena kesuciannya.
Kemenangan tersebut juga dijanjikan oleh Allah dalam surah Al-Qashash [28] ayat 85, “Sesungguhnya, Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran Alquran sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad) tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu (Makkah).”
Dikatakan oleh seorang sarjana Barat, L Stoddart, peristiwa hijrah seolah mengubah padang pasir Timur Tengah menjadi mesiu yang disulut dari Madinah dan meledakkan Jazirah Arab seluruhnya.
Sebab, lanjut Stoddart, seperti dikutip oleh Nurcholish Madjid dalam artikelnya yang berjudul Hijrah Menuju Kemenangan, setelah 10 tahun hijrah ke Madinah, beliau menjadi tokoh sejarah yang paling sukses dalam sejarah umat manusia. Kesuksesan itu pula yang menjadi alasan Michael Hart meletakkan Nabi SAW di antara 100 tokoh dunia yang pengaruhnya paling besar.
Adapun tujuan berhijrah dalam konteks hijrah Rasulullah SAW adalah untuk menyelamatkan akidah umat Islam dari gangguan dan ancaman kafir Quraisy yang semakin besar terhadap umat Islam.
Namun, sebagaimana dijelaskan Ahzami Samiun Jazuli dalam Hijrah dalam Pandangan Al-Quran, secara global, tujuan hijrah adalah senantiasa meninggalkan segala yang dilarang Allah dengan berpindah untuk melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya menuju jalan kebajikan dan kemaslahatan. “Seorang muhajir (yang berhijrah) adalah siapa saja yang meninggalkan segala yang dilarang Allah.” (Shahih Bukhari 1: 53).
Adapun hijrah secara maknawi, seperti dikatakan Ahzami, adalah sebagaimana firman Allah dalam surah Adz-Dzaariyat [51]: 50-51. “Segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya, aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Janganlah kamu mengadakan tuhan selain Allah. Sesungguhnya, aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.”
Sementara itu, makna hijrah secara hakiki adalah hijrah atau pindah dengan sepenuh hati semata-mata untuk Allah dan Rasul-Nya. Yakni, meninggalkan segala kemaksiatan menuju jalan kemaslahatan.
Sumber :www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar