Waktu Anda

Sabtu, 06 November 2010

TEBUIRENG DAN ISTIQLAL

SELAYANG PANDANG
PONPES TEBUIRENG JOMBANG

Tebuireng sebagai salah satu dusun di wilayah Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang mempunyai nilai historis yang besar. Dusun yang terletak 10 km. arah selatan kabupaten Jombang ini tidak bisa dipisahkan dengan K.H.M. Hasyim Asy’ari, di dusun inilah pada tahun 1899 M. Kyai Hasyim membangun pesantren yang kemudian lebih dikenal dengan Pesantren Tebuireng. Sebagai salah satu pesantren terbesar di Jombang, Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik dalam bidang pendidikan, pengabdian serta perjuangan.
Pondok Pesantren Tebuireng yang saat ini di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari mengembangkan beberapa unit pendidikan formal dan nonformal, yaitu: Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyyah, SMP A. Wahid Hasyim, Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah, dan Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari. Keberadaan unit-unit pendidikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat memberikan arti tersendiri, yaitu sebagai manifestasi nilai-nilai pengabdian dan perhatian kepada masyarakat. Dan dalam bentuk informal pesantren Tebuireng membuka jasa layanan masyarakat berupa kesehatan (Rumah Sakit Tebuireng), perekonomian (koperasi dan kantin). Kepercayaan dan perhatian masyarakat luas terhadap keberadaan pesantren Tebuireng adalah dasar kemajuan dan perkembangan Teburieng di masa depan, dengan tetap mengembangkan visi dan misi pendidikan yang mandiri serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Visi dan Misi

Visi :
Pesantren terkemuka penghasil insan pemimpin yang berakhlaq

Misi :
  1. Melaksanakan tata keadministrasian berbasis teknologi
  2. Melaksanakan tata kepegawaian berbasis teknologi
  3. Malaksanakan pembelajaran IMTAQ yang berkualitas di sekolah dan pondok
  4. Melaksanakan pengkajian yang berkualitas kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim dan Ta’lim al-Muta’allim sebagai dasar akhlaq al-karimah
  5. Melaksanakan pembelajaran IPTEK yang berkualitas
  6. Melaksanakan pembelajaran sosial dan budaya yang berkualitas
  7. Menciptakab suasana yang mendukung upaya menumbuhkan daya saing yang sehat
  8. Terwujud tata layanan publik yang baik

Sejarah Singkat Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Pebruari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang.
Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah dan ibu dan kakeknya di Gedang. Dan seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nafisah pada tahun 1892.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau terobsesi untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Peninggalan beliau yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya jurusan Jombang – Kediri.
Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule atau albino). Suatu hari, kerbau tersebut menghilang. Setelah dicari kian kemari, menjelang senja baru ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …! kebo ireng …!. Sejak itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama “Kebo Ireng”.
Namun ada versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng bukan berasal dari kebo ireng seperti cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah karena itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut yang telah banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu sebagai bahan baku gula, yang mungkin tebu yang ditanam berwarna hitam, maka pada akhirnya dusun tersebut berubah menjadi Tebuireng.
Dusun Tebuireng dulu dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan semua perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari bersama beberapa santri yang beliau bawa dari pesantren kakeknya (Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut mulai berubah semakin baik, semua perilaku negatif masyarakat di Tebuireng terkikis habis dalam masa yang relatif singkat. Dan santri yang mulanya hanya beberapa orang dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Awal mula kegiatan dakwah Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa; gedek), bekas sebuah warung pelacuran yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang beliau beli dari seorang dalang terkenal. Satu ruang depan untuk kegiatan pengajian, sementara yang belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asy’ari bersama istri tercinta Ibu Nyai Khodijah.
Tentu saja dakwah Kyai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja memperoleh sambutan baik dari penduduk setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan dari penduduk setempat datang silih berganti, para santri hampir setiap malam selalu mendapat tekanan fisik berupa senjata celurit dan pedang. Kalau tidak waspada, bisa saja diantara santri terluka karena bacokan. Bahkan untuk tidur para santri harus bergerombol menjauh dari dinding bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu itu agar terhindar dari jangkauan tangan kejam para penjahat.
Dan gangguan yang sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja berlanjut, hingga Kyai Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirim utusan ke Cirebon guna mencari bantuan berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5 kyai yakni; Kyai Saleh Benda, Kyai Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet dan Kyai Saleh Benda Kerep.
Dari kelima kyai itulah Kyai Hasyim Asy’ari belajar silat selama kurang lebih 8 bulan. Dan sejak itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim Asy’ari untuk melakukan ronda sendirian pada malam hari menjaga keamanan dan ketenteraman para santri.
Dengan perjuangan gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya berhasil membasmi kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian kentalnya di Tebuireng. Keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas.
Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai berikut:
Periode I     : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
Periode II    : KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
Periode III   : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
Periode IV  : KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
Periode V   : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
Periode VI  : KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006 – sekarang

SISTEM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng
Sebagai pesantren tradisional, Pondok Pesantren Tebuireng pada awal kelahirannya telah mampu menunjukkan perannya yang sangat berarti bagi negeri ini, yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Maka dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat, Pondok Pesantren Tebuireng mendorong segenap lapisan masyarakat –khususnya umat Islam– untuk berjuang melawan penjajah serta mengantar dan memberi semangat bangsa ini berperang mengusir penjajah dan senantiasa mununjukkan sikap anti pati terhadap Belanda. Bahkan pernah muncul fatwa dari Pondok Pesantren Tebuireng, tentang haramnya memakai dasi bagi umat Islam, karena hal demikian –menurut Kyai Hasyim Asy’ari– dianggap menyamai penjajah. Fatwa ini tujuannya tidak lain adalah untuk membangun kesan pada masyarakat tentang betapa pentingnya sikap menentang dan membentuk sikap anti pati terhadap penjajah, agar kemerdekaan segera diraih bangsa ini.
Seiring dengan perjalanan waktu Pondok Pesantren Tebuireng tumbuh demikian pesatnya, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam, masing-masing membawa misi dan latar belakang yang beragam pula. Kenyataan demikian mendorong Pondok Pesantren Tebuireng memenuhi beberapa keinginan yang hendak diraih para santrinya, sehingga siap berpacu dengan perkembangan zaman.
Untuk kepentingan tersebut, Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan perubahan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana pesantren-pesantren pada zaman itu, sistem pengajaran yang digunakan adalah metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), metode weton atau bandongan ataupun halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna). Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab. Dan inilah sesungguhnya misi utama berdirinya pondok pesantren.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919 M. yakni dengan penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Hingga pada tahun 1929 M. kembali dirintis pembaharuan, yakni dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Satu bentuk yang belum pernah ditempuh oleh pesantren manapun pada waktu itu. Dalam perjalanannya penyelenggaraan madrasah ini berjalan lancar. Namun demikian bukan tidak ada tantangan, karena sempat muncul reaksi dari para wali santri –bahkan– para ulama’ dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Hingga banyak wali santri yang memindahkan putranya ke pondok lain. Namun madrasah ini berjalan terus, karena disadari bahwa ini pada saatnya nanti ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.[]

SEKILAS SEJARAH MASJID ISTIQLAL


Pada tahun 1953 beberapa ulama mencetuskan ide untuk mendirikan masjid megah yang akan menjadi kebanggaan warga Jakarta sebagai ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Mereka adalah KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama, yang melontarkan ide pembangunan masjid itu bersama-sama dengan H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan beserta sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman. Ide itu kemudian diwujudkan dengan membentuk Yayasan Masjid Istiqlal.
Pada tanggal 7 Desember 1954 didirikan yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai oleh H. Tjokroaminoto untuk mewujudkan ide pembangunan masjid nasional tersebut. Gedung Deca Park di Lapangan Merdeka (kini Jalan Medan Merdeka Utara di Taman Museum Nasional), menjadi saksi bisu atas dibentuknya Yayasan Masjid Istiqlal. Nama Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti Merdeka sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SAW. Presiden pertama RI Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya yayasan masjid Istiqlal dan kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).
Penentuan Lokasi Masjid Istiqlal
Penentuan lokasi masjid sempat menimbulkan perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Sementara Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya yaitu di Jalan Thamrin yang pada saat itu disekitarnya banyak dikelilingi kampung, selain itu ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit. Namun akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk membangun di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.
Sayembara Desain Masjid Istiqlal
Setahun sebelumnya, Ir. Soekarno menyanggupi untuk membantu pembangunan masjid, bahkan memimpin sendiri penjurian sayembara desain maket masjid. Setelah melalui beberapa kali sidang, di Istana Negara dan Istana Bogor, dewan juri yang terdiri dari Prof.Ir. Rooseno, Ir.H. Djuanda, Prof.Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.
Pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur masjid Istiqlal yang jurinya diketuai oleh Presiden Soekarno dengan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara, namun dari seluruh peserta hanya 5 peserta yang memenuhi syarat:
1.    F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”
2.    R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”
3.    Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”
4.    Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”
5.    Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”
Setelah proses penjurian yang panjang dengan mempelajari rancangan arsitektur beserta makna yang terkandung didalamnya berdasarkan gagasan para peserta maka akhirnya pada 5 Juli 1955 atas perintah Presiden Soekarno memutuskan desain rancangan dengan judul “Ketuhanan” karya Frederich Silaban dipilih sebagai pemenang sebagai model dari Masjid Istiqlal.
Sang Arsitek Masjid Beragama Kristen
Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912, anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.
Untuk menyempurnakan rancangan masjid Istiqlal F. Silaban mempelajari tata cara dan aturan orang muslim melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih 3 bulan dan selain itu ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.
Awal Pembangunan Masjid Istiqlal
Pada sekitar tahun 1950 hingga akhir tahun 1960-an Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik di taman dipenuhi lumut dan rumput ilalang dimana-mana. Kemudian tahun 1960, di tempat yang sama, ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat biasa, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu.
Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, masih dalam bulan yang sama perayaan kemerdekaan RI, menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi umat muslimin di Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya. Untuk pertama kalinya, di bekas taman itu, kota Jakarta memiliki sebuah masjid besar. Sebuah masjid yang dimaksudkan sebagai simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Padanan katanya dalam bahasa Arab berarti merdeka dan disepakati diberi nama Istiqlal sehingga jadilah, Masjid Istiqlal namanya.
Tanggal yang bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu, dipilih sebagai momen pemancangan tiang pertama oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno yang ketika itu langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik.
Proses Panjang Pembangunan Masjid Istiqlal
Seiring dengan iklim politik dalam negeri yang cukup memanas, proyek ambisius itu tersendat-sendat pembangunannya, karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercu suar lainnya. Hingga pertengahan tahun ‘60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun ‘65-’66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.
Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Presiden Soekarno, yang pamornya di mata masyarakat mulai luntur, kedudukannya dalam kepengurusan diganti oleh KH. Idham Chalied yang bertindak sebagai koordinator panitia nasional Masjid Istiqlal yang baru. Lewat kepengurusan yang baru, masjid dengan arsitektur bergaya modern itu selesai juga pembangunannya.
Semula pembangunan masjid direncanakn akan memakan waktu selama 45 tahun namun dalam pelaksanaannya ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu 6 tahun tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1967 sudah dapat digunakan yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama.
Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru. Pendanaan pembangunan masjid ini pada masa Orde Lama direalisasikan melalui proyek Mandataris sementara pada masa Orde Baru menjadi bagian dari Proyek RePelita (Rencana Pembagunan Lima Tahun). Kini masjid Istiqlal berdiri megah di Ibukota Jakarta dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia.

BANGUNAN MASJID ISTIQLAL DAN SPESIFIKASINYA


Masjid Istiqlal menerapkan prinsip minimalis. Secara umum masjid Istiqlal terdiri dari gedung induk, gedung pendahulu dan emper sampingnya, teras raksasa, dan emper keliling serta menara. Ruang-ruang terbuka atau plaza di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar di antaranya, dimaksudkan oleh perancangnya untuk memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami serta mendatangkan kesejukan hati bagi para jamaah yang beribadah.
Spesifikasi Masjid Istiqal:
Luas tanah 12 ha
Luas bangunan  7 ha
Luas lantai 72.000 m2
Luas atap 21.000 m2
Dalam pembangunan masjid ini dibutuhkan:
Semen 78.000 zak dari Gresik
Baja 337 ton
Marmer 93.000 m2
Keramik 11.400 m2
Aspal 21.500 m2

BAGIAN-BAGIAN BANGUNAN MASJID ISTIQLAL
A. Gedung Induk
TINGGI : 60 meter, 5 tingkat symbol shalat 5 waktu
PANJANG : 100 meter
LEBAR : 100 meter
Tiang pancang : 2.361 buah
Bangunan utama ini adalah gedung utama dimana tempat ini dapat menampung 100.000. jemaah pada waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

KUBAH BESAR dengan diameter 45 meter terbuat dari kerangka baja stainless steel dari Jerman Barat dengan berat 86 ton sementara bagian luarnya dilapisi dengan keramik. Diameter 45 meter merupakan simbol penghormatan dan rasa syukur atas kemerdekaan sesuai dengan nama Istiqlal itu sendiri.
Bagian bawah sekeliling kubah terdapat kaligrafi Surat Yassin yang dibuat oleh K.H Fa’iz. >Updated informasi: Bagian dalam di bawah sekeliling kubah terdapat kaligrafi Surat Alfateha, Surat Thaha ayat 14, Ayat Kursi, dan Surat Al Ikhlas.
Dari luar atap bagian atas kubah dipasang penangkal petir berbentuk lambang Bulan dan Bintang yang terbuat dari stainless steel dengan diameter 3 meter dan berat 2,5 ton
Dari dalam kubah di topang oleh 12 pilar berdiameter 2,6 meter dengan tinggi 12 meter, angka ini merupakan simbol angka kelahiran nabi Muhammad SAW yaitu 12 Rabiul Awal.
Seluruh bagian di gedung utama ini dilapisi marmer yang didatangkan langsung dari Tulungagung seluas 36.980 m2.
Lantainya ditutupi karpet merah sumbangan dari pemerintah Kerajaan Arab.

B. Gedung Pendahulu dan Emper Samping
Tinggi : 52 meter
Panjang : 33 meterLebar : 27 meter
Bagian memiliki lima lantai yang terletak di belakang gedung utama yang diapit 2 sayap teras. Luas lantainya 36.980 m2 dengan dilapisi 17.300 m2. jumlah tiang pancangnya sebanyak 1800 buah. Di atas gedung ini ada sebuah kubah kecil. Fungsi utama dari gedung ini setiap jamaah dapat menuju gedung utama secara langsung. Selain itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat perluasan shalat bila gedung utama penuh.
C. Teras Raksasa
Teras raksasa terbuka seluas 29.800 m2 terletak di sebelah kiri belakang gedung induk. Teras ini dibuat untuk menampung jamaah pada saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Arah poros teras ini mengarah ke Monument Nasional menandakan masjid ini adalah masjid nasional. Selain itu teras ini juga berfungsi sebagai tempat acara-acara keagamaan seperti MTQ dan pada emper tengah dahulu biasa digunakan untuk manasik (latihan) haji.

D. Emper Keliling
Emper ini mengelilingi teras raksasa dan emper tengah yang sekelilingya terdapat 1800 pilar guna menopang bangunan emper.
Panjang : 165 meter
Lebar : 125 meter

>BEDUG RAKSASA
Di sudut sebelah tenggara terdapat bedug raksasa yang berfungsi sebagai alat pertanda waktu shalat. Bedug merupakan salah satu ciri ke-Islaman Indonesia dimana hanya terdapat di masjid-masjid Indonesia.

Bedug Raksasa Masjid Istiqlal (foto: arie saksono)
Bedug ini terbuat dari kayu meranti dari Kalimantan Timur yang konon berumur 300 tahun. Garis tengah/ diameter depan adalah 2 meter sedangkan diameter belakang adalah 1,71 meter. Sementara panjang keseluruhan adalah 3 meter dengan berat total 2,3 ton.
Kulit pada bedug adalah kulit sapi. Dibutuhkan 2 lembar kulit sapi dari 2 ekor sapi dewasa. Bagian depan adalah kulit sapi jantan sedangkan bagian belakang adalah kulit sapi betina. Untuk menempelkan kulit ini dibutuhkan 90 paku yang terbuat dari kayu Sonokeling yang pembuatannya membutuhkan waktu 60 hari di Jepara Jawa Tengah.
Kaki penopang bedug disebut Jagrag setinggi 3,8 meter pada kakinya terdapat tulisan Allah dalam segilima yang melambangkan rukun Islam dan waktu shalat. Di sisi lain terdapat tulisan “Bismillahirrahmanirrahim”. Pada ke-empat sisi kakinya terdapat tulisan dua kalimat syahadat. Pada bagian Jagrag keseluruhan ada 27 buah kaligrafi ukiran SuryaSangkala (tahun matahari) yang merupakan pengaruh kebudayaan Hindu sementara pada bagian atas ada ornament ukiran menyerupai naga yang merupakan pengaruh Budha. Sehingga secara keseluruhan bedug ini merupakan wujud dari akulturasi islam dengan berbagai kebudayaan lainnya yang ada di Indonesia.
E. Menara / Minaret
TINGGI : 6666 centimeter = 66,66 meter
DIAMETER : 5 meter
Bangunan menara meruncing ke atas ini berfungsi sebagai tempat Muadzin mengumandangkan Azan. Di atasnya terdapat banyak pengeras suara yang dapat menyuarakan azan ke kawasan sekitar masjid.
Puncak menara yang meruncing dirancang berlubang-lubang terbuat dari kerangka baja tipis. Angka 6666 merupakan symbol dari jumlah ayat yang terdapat dalam AL Quran.
F. Halaman dan Air Mancur MASJID ISTIQLAL
Halaman masjid Istiqlal seluas 9,5 hektar. Halaman ini dapat menampung kurang lebih 800 kendaraan sekaligus melalui 7 buah pintu gerbang masuk yang ada. Di halaman masjid terdapat tiga jembatan yang panjangnya sekitar 21 sampai 25 meter.
Di dalam kompleks masjid di sebelah selatan terdapat air mancur yang berada di tengah-tengah kolam seluas ¾ hektar. Air mancur ini dapat memancarkan air setinggi 45 meter.
Halaman masjid Istiqlal dikelilingi pepohonan yang rindang agar suasana masjid terasa sejuk sehingga akan menambah kekhusukan jamaah beribadah di masjid ini.

G. Tempat Wudhu, Air, dan Penerangan
Tempat wudhu terdapat di beberapa lokasi di lantai dasar yaitu di sebelah utara, timur maupun selatan gedung utama. Tempat ini dilengkapi dengan kran khusus sebanyak 660 buah sehingga secara bersamaan 660 orang dapat berwudhu sekaligus.
Sedangkan toilet terdapat juga di lantai dasar sebelah timur di bawah teras raksasa. Toilet ini tersedia untuk 80 orang yang terbagi dua kompleks, untuk pria dan wanita. Selain itu juga terdapat 52 kamar mandi yang dapat dikunci dan beberapa toilet di lantai sebelah selatan 12 buah, barat 12 buah dan timur 28 buah. Keperluan wudhu, kamar mandi dan toilet ini dipasok sebanyak 600 liter setiap hari per menit dari PAM.
Penerangan masjid Istiqlal menggunakan listrik dari PLN, selain itu juga menggunakan 3 generator berkekuatan masing-masing 110 kva dan sebuah generator besar 500 kva. Pendingin ruangan hanya digunakan bagi ruangan-ruangan kantor di lantai bawah dengan menggunakan sistem kontrol terpusat.

H. Lantai Dasar.
Lantai dasar masjid ini luasnya 2,5 ha dahulu dibiarkan kosong dan hanya digunakan dalam keadaan darurat untuk menampung masyarakat DKI Jakarta bila dalam keadaan bahaya. Namun sejak tahun 1978 atas perintah Presiden Soeharto lantai ini digunakan untuk kantor organisasi keagamaan. Sekarang, masjid ini semarak dengan berbagai aktivitas umat muslim dan organisasi islam di dalamnya. Ada MUI, Dewan Masjid Asia dan Lautan Teduh, Dewan Masjid Indonesia, Pusat Perpustakaan Islam Indonesia, LPTQ dan BP 4 Pusat. Bahkan di atas lahan di sekeliling masjid Istiqlal, sebagian dipergunakan untuk kegiatan ekonomi, warung makan, cenderamata, dan terutama setiap hari Jum’at ramai dipenuhi pedagang dan pembeli sehabis menunaikan shalat Jum’at, yang dikenal dengan pasar Jum’atan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar