Waktu Anda

Sabtu, 06 November 2010

BULETIN AL BAANIYAH


BULLETIN
AL-BAANIYAH
SEKRETARIAT: BLOK SAWO VII, RT. 003/03 CIPAYUNG – DEPOK


MUHASABAH PASCA RAMADHAN
Firman Allah SWT:
Bismillahirrahmanirrahim

يأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَاتَعْمَلُوْنَ.
Hai orang-orang yang beriman, ber-takwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr ayat 18).

Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang cendikia adalah yang mengoreksi dirinya dan mempersiapkan amal untuk bekal sesudah mati, dan orang bodoh (lemah) adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah". (H.R. AT-Tirmidzi).


Nah, sebagai upaya untuk membantu apa yang sudah kita kerjakan di bulan Ramadhan, berikut ini ada beberapa catatan "Muha-sabah An-Nafs" untuk membantu aktivitas diri meningkatkan kualitas pribadi dan jama'i, yaitu:
·    Apakah anda selalu menyempatkan diri untuk bangun malam di malam Ramadhan, meskipun itu adalah perkara yang berat? Dan setelah Ramadhan, masihkah anda meluangkan waktu malam anda untuk bangun dan shalat malam meskipun hanya sebentar?.
·    Apakah anda  menyadari bahwa sesung-guhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang selalu mengikuti dan meneropong di waktu siang dan malam hari?
·    Apakah anda selalu menunaikan shalat shubuh tepat pada waktunya dengan berjama'ah?
·    Apakah anda mengingat Allah di saat sepi dengan rasa khusyu' hingga meneteskan air mata?
·    Ketika anda duduk di meja hidangan, apakah anda sedikitpun tidak terpikir tentang manfaat makanan? Tentang besarnya nikmat Allah? Tentang saudara-saudara anda yang fakir, miskin, dan kelaparan? Dan sudah yakinkah anda bahwa apa yang anda makan halal dan baik?
·    Sudahkah anda meyakini dan memahami bahwa bekerja merupakan ibadah dan jihad? Dan sudahkah anda menunaikan kewajiban ini dengan sungguh-sungguh, tekun, ikhlas dan professional?
·    Sudahkah anda menyisihkan sebagian harta untuk zakat, infak dan shadaqah kepada fakir, miskin dan  mereka-mereka yang membutuhkan uluran tangan kita? Apakah anda sudah menunaikan zakat wajib?
·    Ketika anda berada di jalan raya dan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, lalu apakah anda merasakan pengawasan (muraqabah) dan keser-taan (ma'iyah) Allah? Dan sudahkah anda berlaku ihsan (baik, professional) terhadap Allah dan sesuai aturan Allah dalam segala hal?
·    Apakah anda senantiasa dan bersegera menundukkan pandangan apabila menyaksikan segala yang tidak halal bagi anda?
·    Apakah ketika anda sedang berdagang  mencari yang halal, meskipun ada di antara mereka yang berdagang dengan malalaikan syari'at Allah?
·    Apakah anda sudah merasakah bahwa setiap tingkah laku anda diawasi oleh Allah Azza wajalla? Ataukah anda sudah merasa terawasi akan tetapi masih tetap melanggar, sebab anda mengira umur anda masih panjang?
·    Sudah berapakah amal-amal Islami yang anda kerjakan? Apakah saudara mukmin anda telah merasakan man-faat amal anda itu? Apakah anda sudah menziarahi mereka untuk memperkuat ukhuwah dan mining-katkan ketaatan?
·    Berapa banyak waktu  yang anda luangkan untuk menghidupkan tsaqafah Islamiyah dan tsaqafah amah? Apakah hari ini anda telah menelaah Islam? Menelaah ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabawi, meskipun hanya satu ayat  kemudian difahami tafsir dan maknanya? Sudahkah anda menghafalnya Dan sudahkah anda mengamalkannya? Dan sudahkah anda menda'wahkannya?
·    Sudahkah anda mencurahkan waktu untuk berjihad di jalan Allah dengan waktu anda, dengan fikiran anda, dengan harta anda dan jiwa anda? Dan sabarkah anda di jalan da'wah dan jihad yang mulia ini? Dan sudahkah anda selalu berniat jihad dan syahid di jalan Allah?
·    Sudahkah kewajiban-kewajiban anda dipenuhi terhadap Allah? Terhadap badan anda? Terhadap istri dan anak-anak, tetangga, orang tua, saudara dan orang lain? Dan terhadap saku anda?
Itulah suatu yang mesti kita renungkan setelah bulan yang penuh berkah bulan Ramadhan meninggalkan kita.

-------------------------

KASUS MASJID DHIRAR
Di Madinah, sebelum Rasulullah saw berhijrah ke sana, ada seorang lelaki bernama Abu Amir Ar-Rahib (pendeta), dari suku Khazraj. Dia pernah menganut agama Nasrani, dan mengajarkan ilmu-ilmu Ahlul Kitab, serta mempunyai kedudukan yang penting dalam kalangan mereka. Setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah dan memperoleh pengikut yang banyak dari penduduk Madinah itu, sehingga kaum Muslimin telah menjadi kuat, dan Allah telah memenangkannya terhadap kaum musyrikin, maka Abu Amir keluar dari kota Madinah, melarikan diri ke Makkah. Ia membujuk kaum musyrikin untuk menciderai Rasul saw dalam perang Uhud. Bahkan ia berpidato kepada kaumnya yang terdiri dari orang-orang Anshar supaya mereka berpihak kepadanya. Akan tetapi kaumnya itu menolak dengan tandas. Dan setelah perang Uhud selesai, maka Abu Amir mela-rikan diri serta meminta perlindungan kepada Heraclius, seorang raja Romawi. Dia meminta bantuan kepada raja tersebut untuk memerangi Rasulullah dan kaum Muslimin. Raja tersebut mengabulkan permintaannya, serta menjanjikan kepadanya untuk memberikan ban-tuan. Abu Amir lalu berkirim surat kepada sekelompok kaumnya yang terdiri dari orang-orang munafiq, mengabarkan kepada mereka bahwa ia akan datang membawa pasukan untuk memerangi dan mengalahkan Nabi Muhammad saw. Dan ia memerintahkan agar mereka  (orang-orang munafiq) membuat sebuah benteng sebagai tempat perlindungan bagi orang-orangnya yang nanti akan datang kepada mereka dengan membawa surat-suratnya; dan tempat itu kelak akan digunakannya sebagai kubu pertahanan, apabila nantinya ia datang kepada mereka.
Hasutan dan anjuran Abu Amir ar-Rahib yang demikian itu dapat menarik hati dan mempengaruhi jiwa orang-orang Banu Ghunam, sehingga mereka lalu bersama-sama mendirikan masjid baru itu, dengan tujuan seperti yang dikehendaki oleh Abu Amir. Orang-orang yang mendirikan masjid baru itu menurut riwayat ada 12 orang, mereka itu ialah:

1.   Kahizam bin Khalid dari Banu Ubaid bin Zaid.
2.   Tsa’labah bin Hathib dari Banu Umayyah bin Zaid.
3.   Mu’atthib bin Qusyair dari Banu Dhubai’ah bin Zaid
4.   Abu Habibab bin Al-Az’ar dari Banu Dhubai’ah bin Zaid.
5.   Abbad bin Hunaif dari Banu Amer bin Auf
6.   Jariyah bin Amir dan dua orang anaknya.
7.   Mujammi.
8.   Zaid.
9.   Nabthal bin Al-Harits dari Banu Dhubai’ah.
10. Bakhzaj dari Banu Dhubai’ah.
11. Bijab bin Utsman dari Banu Dhubai’ah.
12. Wadi’ah bin Tsabit dari Banu Umayyah bin Zaid.
Maka mulailah para pengikutnya itu membangun sebuah masjid yang berde-katan letaknya dengan masjid Quba’. Mereka membuat bangunan itu sedemi-kian rupa kokohnya dan selesai mereka kerjakan sebelum Rasulullah saw berang-kat ke Peperangan Tabuk. Mereka datang kepada Rasulullah saw dan meminta agar beliau bershalat di masjid tersebut, sebagai tanda bahwa beliau merestui pembangu-nan masjid itu. Mereka menyebutkan kepada Rasulullah saw bahwa bangunan tersebut mereka dirikan hanyalah semata-mata untuk menampung orang-orang lemah di antara mereka dan orang-orang yang menderita sakit pada malam-malam musim dingin. Untunglah pada saat itu Rasulullah mendapat perlindungan dari Allah SWT sehingga beliau terhindar dari tipu daya orang-orang munafiq itu dan tidak bershalat di tempat itu. Rasulullah menjawab tawaran mereka untuk shalat dalam masjid tersebut dengan katanya :
إِنِّى عَلَى جُنَاحٍ سَفَرٍ وَحَالِ شُغْلٍ، وَلَوْ قَدْ قَدِمْناَ إِنْ شَاءَ اللهُ لأَ تَيْنَاكُمْ فَصَلَّيْنَا لَكُمْ فِيْهِ.
Artinya: “Sesungguhnya saya sekarang ini sedang berhalangan dan akan pergi untuk menyelesaikan satu pekerjaan yang memerlukan penuh perhatian. Jika kami nanti telah datang, insya Allah tentu mendatangi kamu, lalu kami mengerjakan shalat di dalamnya bersama-sama kamu.”
Demikianlah jawab Nabi saw atas permintaan mereka. Oleh sebab itu, maka ketika Nabi saw bersama tentara kaum Muslimin kembali dari Tabuk, perjalanan beliau sedang sampai di satu tempat yang bernama Zi Awan, sebuah tempat di luar kota Madinah, kira-kira sejauh perjalanan satu jam lagi, datanglah serombongan kaum munafiqin kepada beliau dengan menge-mukakan permintaan, supaya beliau memerlukan datang ke masjid Quba’ --yang kedua--, yang baru didirikan oleh mereka itu, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh beliau ketika hendak berangkat ke Tabuk. Permintaan mereka yang demikian itu oleh Nabi Muhammad ketika itu akan dikabulkan, dan beliau bercita-cita di dalam hati akan mendatanginya juga, sebagaimana yang diinginkan dan diharapkan oleh mereka; tetapi mendadak seketika itu juga beliau menerima wahyu dari Allah, Surat At-Taubah ayat 107 – 110, yang bunyinya:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَلاَ تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ، فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ. أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.  لاَ يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلاَّ أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
107. “Dan (di antara orang-orang munafiq itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafirannya, dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesung-guhnya mereka itu adalah berdusta (dalam sumpahnya).
108. Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya Masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih
109. Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhoan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang men-dirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.
110. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah/9 : 107 – 110).
Setelah ayat-ayat yang tersebut itu diterima oleh Nabi saw maka sudah barang tentu beliau ketika itu tidak jadi berangkat ke Quba’ untuk memenuhi panggilan dan permintaan kaum munafiqin mendatangi masjid yang baru itu. Bahkan lantaran Allah telah menyatakan dengan sabda-Nya bahwa masjid itu adalah Masjid Dhirar, yang berarti bahaya dan celaka, tegasnya membahayakan atau mencelakakan bagi kaum Muslimin, maka ketika itu Nabi saw memerintahkan kepada beberapa orang dari kaum Muslimin, di antaranya seorang yang beranama Wasyi.
Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa kaum Muslimin yang diperintahkan oleh Nabi supaya membakar dan menghancurkan masjid dhirar itu ialah Malik bin Dukhsyum dan Ma’an bin ‘Adi atau saudaranya, ‘Ashim bin ‘Adi. Beliau bersabda kepada mereka berdua:
اِنْ طَلِقَا إِلَى هَذَا الْمَسْجِدِ الظَّالِمِ أَهْلُهُ فَاهْدِ مَاهُ وَحَرِّقَاهُ.
“Berangkatlah kamu berdua ke masjid yang ahlinya dhalim itu, lalu bina-sakanlah dan bakarlah oleh kamu berdua akan dia.”
Para sahabat yang menerima perintah itu dengan segera lalu berangkat ke Quba’, dan sesampainya di sana, lalu masing-ma-sing mengambil daun-daun atau pelepah-pelepah kurma yang sudah kering guna alat membakar masjid dhirar itu. Kemu-dian dengan diam-diam mereka lalu mem-bakarnya dan merobohkannya sampai habis menjadi abu, pada waktu antara maghrib dan `isya’.
Ingin Membunuh Nabi SAW dan Jadi Kaki Tangan Asing
Sementara itu Hamka mengemukakan, setelah menilik penafsiran Ibnu Katsir dan Al-Baghawi, bertambah pentinglah peng-lihatan kita tentang kedudukan keempat ayat ini di dalam surat Al-Bara’ah (At-Taubah), khusus membicarakan orang-orang munafiq. Bahwa selain daripada munafiq yang hendak membunuh beliau (Nabi saw) di tempat curang di perjalanan pulang, ada pula yang menjadi kaki tangan asing (subversi) di Madinah sendiri, dengan membuat camouflase (pura-pura) mendirikan masjid, padahal masjid palsu itu hendak dijadikan markas apabila tentara Romawi datang.
Selanjutnya Hamka mengemukakan: Setelah kita ketahui tadi siapa Abu ‘Amir Ar-Rahib dan kita pertalikan dengan 12 orang munafik yang menjadi kaki ta-ngannya di Madinah itu, mengertilah kita sekarang bagaimana duduk soal Masjid baru ini didirikan ialah dengan 4 maksud jahat. Pertama, hendak membuat dhiraar. Artinya bencana atau bahaya. Terutama ialah bahaya niat jahat dan pengkhianatan yang dipelopori oleh seorang kafir yang telah mengkhianati kaumnya. Abu ‘Amir bukan saja munafiq lagi, tetapi lebih dari itu, musuh besar kaki tangan Kerajaan Romawi. Yang munafiq ialah 12 orang penyambutnya di Madinah itu. Yang kedua, niscaya teranglah bahwa maksud mendirikan masjid ini bukan dari iman, tetapi dari kufur. Ketiga, dengan mendirikan masjid ini masyarakat yang tadinya bersatu menjadi pecah. Yang keempat, telah terang lagi puncak kejahatan tertinggi dari maksud itu, yaitu hendak dijadikan tempat pengintip (irshad) gerak-gerik Rasul dan orang-orang beriman, yang menjadi anjuran dari Abu ‘Amir tadi. Yaitu orang yang sejak sebelumnya memang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, sejak perang Uhud sampai perang Hawazin dan berharap Madinah diserang Romawi, supaya dengan paksa penduduk Madinah dapat dijadikan pemeluk Nasrani. Mungkin ada niat jika mereka menang, masjid itu langsung kelak dijadikan gereja dengan pengakuan kerajaan Romawi, dan Abu ‘Amir diangkat menjadi Uskupnya.
Kemudian datanglah sambungan ayat: “Namun mereka akan bersumpah, tidak ada maksud kami, kecuali kebaikan.” Sebagai-mana yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir, seketika mengundang Nabi saw supaya sudi shalat di sana, mereka menyatakan bahwa maksud mendirikan masjid itu adalah baik, yaitu untuk orang-orang lemah, atau orang sakit atau orang yang tidak tahan dingin keluar malam di musim dingin. Pendeknya ada-ada saja alasan yang mereka kemukakan. “Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang berdus-ta.” (ujung ayat 107).
“Jangan engkau shalat padanya selama-lamanya” (pangkal ayat 108). Inilah larangan tegas dari Allah kepada Rasul saw, supaya sekali-kali jangan shalat ke sana, walaupun sebelum berangkat ke Tabuk sudah dijanji-kan akan shalat ke sana, sebab Rasul saw waktu itu belum diberi tahu oleh Allah, dan beliau pun tengah repot. Malahan setelah mendapat wahyu ini, demi mengetahui keempat maksud jahat yang terkandung di dalam mendirikan masjid itu, terus Nabi Muhammad saw memerintahkan beberapa orang sahabat pergi ke tempat itu dan segera meruntuhkan masjid berbahaya (dhirar) itu, sampai rata dengan bumi.
Mencuri Keimanan dan Pemurtadan
Kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an itu merupakan contoh nyata betapa liciknya musuh Islam yang bersekongkol dengan kekuatan kekaisaran Romawi Nasrani serta orang dalam negeri yang munafiq untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Berbagai dalih dan alasan dikemukakan, seolah pembangunan masjid dhirar itu adalah satu bentuk upaya mensejahterakan Ummat, meringankan beban Ummat, membantu orang-orang lemah, orang-orang yang tak tahan dingin, dan sebagainya.
Persekongkolan antara musuh-musuh Islam dari dalam negeri dengan kekuatan besar di luar negeri kemudian dijalin secara rapi dan halus dengan munafiqin-munafiqin dalam negeri, adalah satu model yang pas dalam gambaran Al-Qur’an tersebut, yang kalau model sekarang adalah berbentuk proposal yang telah rapi, kemudian diwujudkan dalam program suatu proyek yang diberi jangka waktu secara terinci. Data-data pun dikompliti, disertai foto-foto dan petanya, serta program-program yang telah dirinci jangka waktunya, beayanya, dan prediksi hasil pemurtadannya.
Program canggih yang serba komputerise itu pun masih dicarikan dekengan dan duku-ngan sana sini, kalau bisa sampai ke titik puncak pimpinan, baik di dalam maupun di luar.
Semangat tinggi untuk memurtadkan kaum Muslimin itu tidak bisa dipungkiri, baik secara kenyataan maupun secara khabar kepastian dari wahyu Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa sebagian besar Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu ingin memurtadkan kaum Muslimin karena kedengkian dari diri mere-ka. Ayatnya sebagai berikut:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 109).
Tafsir Departemen Agama menjelaskan: Ayat ini mengandung peringatan kepada orang-orang Islam agar supaya mereka waspada terhadap tipu muslihat Ahli Kitab. Tipu muslihat yang mereka lakukan itu adakalanya dengan jalan mengeruhkan ajaran Islam, dan adakalanya dengan menimbulkan keragu-raguan di kalangan Ummat Islam sendiri.
Mereka melakukan tipu muslihat itu disebabkan karena kedengkian semata, tidak timbul dari pandangan yang bersih. Kedengkian mereka bukanlah karena keragu-raguan mereka terhadap kandu-ngan isi Al-Qur’aan, atau bukan karena didorong oleh kebenaran yang terdapat dalam Kitab Taurat, akan tetapi disebab-kan karena dorongan hawa nafsu, kemerosotan mental dan kedongkolan hati mereka. Itulah sebabnya maka mereka terjerumus dalam lembah kesesatan dan kebatilan.
Dalam ayat lain lebih ditegaskan lagi:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ.
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120).
Dalam menafsirkan ayat itu, Kiai Misbahul Musthofa Bangilan Tuban Jawa Timur dalam kitab tafsirnya, Tajul Muslimin, berbahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon, menje-laskan dengan memberikan tanbih (peringatan) sebagai berikut:
“Ayat ini walaupun yang diucapi itu Nabi Muhammad saw, tetapi yang dimaksud yaitu umatnya Nabi, yakni Umat Islam, karena tidak mungkin kalau Nabi Muhammad itu ikut terhadap kesenangan nafsu orang Yahudi dan Nasrani.
Jadi dengan ayat ini, Umat Islam harus mengerti kalau orang Yahudi dan orang Nasrani itu tidak puas, tidak henti-hentinya dalam upaya supaya Umat Islam menjadi Yahudi atau Nasrani. Macam-macam tipu daya dari dua golongan ini, guna mempe-ngaruhi Ummat Islam.
Kalau Umat Islam sampai terjerat ikut, maka tidak akan ada yang menolongnya atau menjaganya dari siksa Allah. Dan dengan adanya ayat ini, Umat Islam harus hidup pakai garis Islam, yaitu garis-garis yang ditentukan oleh Al-Qur’an. Sebaliknya, kalau Umat Islam bersedia mengikuti petunjuk Allah Ta’ala maka dirinya akan mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala. Peringatan yang lebih tandas lagi dikemu-kakan oleh Prof Dr Hamka sebagai berikut:
“Dan dengan ayat ini kita telah diberi peringatan, bahwasanya Lan tardha, sekali-kali tidak akan ridha Yahudi dan Nasrani sebelum kita mengikuti agama mereka. Menurut loghat, huruf Lan itu berarti Nafyin- waistiqbalin, yaitu mereka tidak akan ridha, tidak, untuk selama-lamanya."
Ayat ini telah memberikan pesan dan pedoman kepada kita, buat terus menerus sampai hari kiamat, bahwasanya di dalam dunia ini akan tetap terus ada perlombaan merebut pengaruh dan menanamkan kekuasaan agama. Ayat ini telah memberi ingat kepada kita, bahwasanya tidaklah begitu penting bagi Yahudi dan Nasrani, me-yahudikan dan menasranikan orang yang belum beragama, tetapi yang lebih penting ialah meyahudikan dan menasranikan pengi-kut Nabi Muhammad saw sendiri. Sebab kalau Islam merata di seluruh dunia ini, pengaruh kedua agama itu akan hilang. Sebab apabila akidah Islamiyah telah merata dan diinsafi, kedua agama itu akan ditelan-nya. Sebab pemeluk Islam berarti kembali kepada hakikat ajaran yang sejati daripada Nabi Musa dan Nabi Isa. Niscaya pemeluk kedua golongan itu tidak senang, sebab agama yang mereka peluk itu telah mereka pandang sebagai golongan yang wajib di-pertahankan. Dengan tidak usah mengkaji lagi benar atau tidak benar.
Menurut Hamka, isyarat yang diberikan oleh ayat inilah yang telah kita temui dalam perjalanan sejak Islam bangkit dan tersebar di muka bumi ini sampai sekarang. Kalau sekiranya kita lihat kegiatan pengkristenan yang begitu hebat, sejak dari Perang Salib pertama pada 900 tahun yang lalu, sampai kepada ekspansi zending dan missi Protestan dan Katholik ke negeri-negeri Islam dengan membelanjakan uang berjutajuta Dolar untuk mengkristenkan agama Islam, semua-nya ini adalah isyarat yang telah diberikan oleh ayat ini, bahawasanya mereka belum rela dan ridha serta belum bersenang hati, sebelum umat Muhammad menganut agama mereka.
Pekerjaan mereka itu berhasil pada negeri-negeri yang orang Islamnya hanya pada nama, tetapi tidak mengerti asli pelajaran-nya. Kadang-kadang mereka berkata, biar-kanlah orang Islam itu memeluk agama Islam pada lahir, asal kebatinan mereka telah tertukar menjadi Kristen.
Orang Yahudi tidaklah mengadakan zending dan missi. Pemeluk agama Yahudi lebih senang jika agama itu hanya beredar di sekitar Bani Israel saja, sebab mereka me-mandang bahwa mereka mempunyai darah istimewa. Tetapi mereka memasukkan pe-ngaruh ajaran mereka dari segi lain.
Bukan saja di dunia Islam, bahkan pada dunia Kristen mereka pun mencoba mema-sukkan pengaruh, sehingga merekalah yang berkuasa. Kita masih ingat bahwa dalam kitab-kitab Perjanjian Lama yang menjadi pegangan mereka, tidak ada pengajaran tentang hari kiamat. Agama orang Yahudi itu terlebih banyak mementingkan kepada urusan dunia, kepada harta benda. Kehi-dupan riba (renten) adalah ajaran orang Yahudi.
Negeri Amerika Serikat yang begitu besar dan berpengaruh, terpaksa menutup kantor-nya dua hari dalam seminggu. Bukan saja pada hari Ahad, sebagai hari besar Kristen, tetapi Hari Sabtu pun tutup. Sebab yang memegang keuangan di Wallstreet (New York) adalah bankir-bankir Yahudi.
(Kini di Indonesia ditiru juga, sejak tahun 1996-an, bahkan kantor-kantor pemerintah pun sebagian ikut tutup pada hari Sabtu, dan tetap buka pada Hari Jum’at, bahkan biasanya Satpam/ penjaga keamanannya sangat sulit untuk berjum’atan, sekalipun mereka Muslim dan bekerja di Departe-men Agama, pen).
Sebab itu maka segala sesuatu kelancaran ekonomi di tangan Yahudi. Sedangkan di Amerika lagi demikian, apalagi di negeri-negeri lain.
Gerakan Vrijmetselar, dan gerakan Masoniah (Freemasonry, pen), serta beberapa gerakan internasional yang lain, tempuknya dalam tangan Yahudi. Dunia Islam tidak perlu masuk agama mereka, asal turutkan pengaruh mereka. Negeri-negeri Islam yang besar-besar terpaksa mendirikan bank-bank, menjalankan niaga dan ekonomi berdasarkan kepada riba, baik riba besar atau riba kecil; terpaksa memperlicin hukum riba supaya bernafas untuk hidup, tidak dapat mencari jalan lain, sebab seluruh dunia telah dikongkong oleh ajaran Yahudi.
Sedikit orang Yahudi yang berpencar-pencar di seluruh dunia dapat mendirikan sebuah negara Yahudi, mereka beri nama Israel, di tengah-tengah negeri orang Arab, dengan dibantu oleh Kerajaan Inggeris dan Amerika, bahkan mendapat pengakuan pertama dari Negara Rusia Komunis.
Semuanya inilah yang diisyaratkan oleh ayat yang tengah kita tafsirkan, bahwasa-nya orang Yahudi dan Nasrani belum merasa puas hati, sebelum kita penganut ajaran Muhammad mengikuti ajaran mereka. Ini bukanlah ancaman yang menimbulkan takut, tetapi sebagai perangsang supaya kaum Muslimin terus berjihad menegakkan agamanya, dan melancarkan dakwahnya. Karena selama kaum Muslimin masih berpegang teguh kepada ajaran agama yang dipeluknya, mengamalkannya dengan penuh kesadaran, tidaklah mereka akan runtuh lantaran usaha kedua pemeluk agama itu. Sebab ayat telah menegaskan, bahwasanya petunjuk yang sejati tidak ada lain, melainkan petunjuk Allah.



---------------------------

FATWA
SYEIKH HASYIM AS'ARI
PENDIRI NAHDLATUL ULAMA (NU)

Fatwa Syeikh Hasyim Asy'ari dari Tebuireng Jombang ini berjudul "Al-Mawaa'idz" atau nasehat-nasehat, yang beliau keluarkan  merupakan nasehat-nasehat keaga-maan yang bukan saja ditu-jukan kepada kaum Nahdlatul Ulama saja, tetapi untuk masya-rakat Islam di Indonesia pada umumnya. Nasehat ini dijadikan peringatan bagi umat dan disiarkan dalam "Kongres Nahdlatul Ulama yang ke XI di kota Banjarmasin. Hal ini terjadi pada tahun 1935."
"Amma ba'du, sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di antara kamu semuanya sampai kepada masa ini, berkobarlah api fitnah dan telah terjadi pertentangan-pertentangan, maka aku renungkan sebab-sebab kejadian itu. Rupanya ialah suatu hal yang telah menimpa manusia di zaman ini. Mereka telah mengganti dan mengubah Kitab Allah dan Sun-nah Rasul-Nya.
Wahai ulama-ulama yang telah ta'ashub (fanatik) kepada setengah madzhab atau setengah Qaul! Tinggalkanlah ta'ashubmu dalam soal-soal furu (ranting-ranting agama) itu! Yang Ulama sendiri dalam hal demikian mempunyai dua pendapat. Satu pendapat ialah bahwa setiap orang yang berijtihad adalah benar! Dan satu pendapat lagi, "yang benar hanyalah satu, dan yang salah dapat pahala juga!"
Tinggalkanlah ta'ashub itu dan lepaskanlah diri, dari pada hawa nafsu yang merusak itu. Dan belalah agama Islam, berjihadlah menolak orang-orang yang telah menghina Al-Qur'an dan sifat-sifat Tuhan. Berjuanglah untuk menolak orang yang menda'wakan ilmu yang sesat dan kepercayaan yang merusak. Dan berji-had menghadapi orang-orang yang demikian adalah wajib! Alangkah baiknya jika tenagamu engkau sediakan buat itu,"
"Adapun ta'ashub (kefanatikan) kamu pada ranting-ranting aga-ma, dan mendorongkan orang supaya memegang satu mazdhab atau satu Qaul (pendapat sese-orang), tidaklah disukai oleh Allah Ta'ala. Dan tidaklah diri-dhai oleh Rasulullah saw.  Apalagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah se-mata-mata ta'ashub (fanatik) dan berebut-rebutan dan ber-dengki-dengkian.
Sekiranya Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Hajar serta Imam Ramli masih hidup niscaya mereka akan sangat menolak perbuatanmu ini. Niscaya mereka akan berlepas daripadamu dan daripada cara-caramu ini. Sebab kamu telah berbuat lain daripada apa yang dilakukan oleh ulama-ulama itu di dalam perkara yang bertikai pendapat. Padahal kamu melihat sendiri betapa banyak manusia-manusia yang meninggalkan shalat. Padahal hukum mening-galkan shalat itu menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik serta Imam Ahmad bin Hambal bo-leh dipotong lehernya dengan pedang. Tidak ada di kalangan kamu yang berani menegor te-tangganya yang meninggalkan shalat, bahkan didiamkan saja.
Demikianlah suatu nasehat dari  Syeikh Hasyim Asy'ari, ulama besar dari Tebuireng, Jombang. Dalam akhir nasehatnya beliau mengatakan lagi bahwa, "Dan kita semuanya adalah ahlus sunnah waljama'ah belaka".

Dikutif dari kitab:

هل انت من اهل السنة والجماعة ؟
Apakah Anda Termasuk Golo-ngan Ahlus Sunnah Wal jama'ah?

Oleh
UMAR HASYIM

-----------------------------------------


 
BANK ASI
Pengertian Bank Asi:
"Lembaga yang menghimpun susu murni dari para ibu untuk memenuhi kebutuhan air susu ibu bagi bayi yang tidak mem-peroleh ASI dari ibunya sendiri disebut Bank Air Susu Ibu".
Lembaga ini pertama kali muncul di dunia Barat dan berkembang sampai ke Benua Asia, antara lain Singapura. Di Indonesia lembaga seperti ini belum ada.
Makin banyaknya wanita yang memiliki aktivitas di luar rumah menyebabkan anak mereka, termasuk yang masih bayi, harus ditinggalkan. Di sisi lain, para ibu ini menyadari manfaat dan keunggulan ASI bagi bayi mereka. Kondisi inilah yang melatar belakangi pendirian Bank ASI.
Bagi non muslim, permasalahan ASI bukanlah permasalahan yang menyang-kut hukum agama. Oleh sebab itu, kehadiran Bank ASI dapat mereka terima, bahkan keberadaannya sangat membantu dalam memperlancar aktivitas mereka.
Dalam Islam, persoalan menyu-sukan anak kepada wanita lain juga merupakan sesuatu yang dibolehkan, seperti yang dilaku-kan oleh Siti Aminah binti Wahhab, ibunda dari Nabi Muhammad SAW, ketika ia meminta Halimah as-Sa'diyah untuk menyusui Muhammad  kecil. Banyak lagi contoh dikalangan sahabat yang menunjukkan bahwa tradisi menyusukan anak kepada wanita lain memasyarakat dalam Islam. Akan tetapi, ada akibat hukum dari menyusukan anak kepada wanita lain, seperti yang dinyatakan Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 23, yakni anak yang disusui  tidak boleh kawin dengan ibu susu, dengan keturunan ibu susu, dengan orang tua ibu susu dengan saudara sesusuan serta keturunan dan orang tua mereka.
Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan: "Diharamkan (seseorang) mengawini wanita yang menyusukannya dengan semua keturu-nannya, sebagaimana diharamkan  menikahi ibu dengan seluruh keturu-nannya". (H.R. Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal).
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, permasalahan susu ibu dalam Islam mempunyai akibat hukum yang luas. Misalnya, apabila peria menikahi wanita, dan kemudian diketahui bahwa mereka saudara sepersusuan, maka pernikahan tersebut lang-sung fasakh (batal), tanpa me-merlukan lafal talak maupun keputu-san peradilan.
Hukum Bank ASI.
Menyusukan anak kepada wa-nita lain yang diperbolehkan dalam ayat atau hadits di atas adalah apabila penyusuan  dilakukan secara langsung. Adapun hukum menyusukan anak pada seorang wanita yang air susunya telah dike-luarkan dan telah ditempatkan dalam suatu wadah tidak disepakati oleh para ulama.
Dari mereka muncul sejumlah pendapat.
1.   Pendapat pertama dikemuka-kan oleh jumhur ahli fiqih yang terdiri dari ulama Madzhab Syafi'i, Az-Zahiri, Maliki, dan Zaidiyah. Menurut mereka, wa-nita pemilik air susu itu boleh menjual susunya yang telah dikeluarkan dan ditempatkan di suatu wadah. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 275: yang artinya:"Allah telah menghalal-kan jual beli dan mengharam-kan riba". Air susu yang diperjualbelikan  oleh seorang wanita adalah air susunya sen-diri, miliknya sendiri, dan sesuatu yang halal untuk diper-jualbelikan. Karenanya, tidak ada alasan untuk menyatakan tidak boleh memperjualbelikan air susu seseorang. Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara susu manusia (wanita) dan susu hewan yang dagingnya dima-kan. Apabila susu hewan boleh dikonsumsi, maka susu manusia pun demikian; sama-sama ber-manfaat bagi bayi. Oleh sebab itu, apabila susu hewan boleh dijual, maka air susu seorang wanita yang telah ditempatkan dalam sebuah wadah pun boleh dijual untuk dimanfaatkan bagi bayi, karena susu manusia itu termasuk harta yang bernilai. Dengan demikian, mengambil upah dari menyusukan anak dibe-narkan oleh syara'.

2.   Pendapat kedua dikemuka-kan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali). Ia menyatakan bahwa memperjualbelikan susu seorang wanita hukumnya makruh. Na-mun tidak jelas apa alasan yang dikemukannya. Ibnu Qudamah (ahli fiqih Mazhab Hanbali) me-nyatakan bahwa alasan tersebut adalah sebuah hadits yang me-nyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang persoalan memperjualbelikan susu wanita . Rasulullah SAW ketika itu men-jawab, "Saya membencinya". (H.R. Ahmad bin Hanbal).

3.   Pendapat ketiga dikemukakan Imam Abu Yusuf (113 H/731M – 182 H/798 M, tokoh fiqih Maz-hab Hanafi). Ia menyatakan bah-wa kebolehan memperjualbelikan susu tersebut hanya berlaku bagi susu hamba sahaya, tidak boleh bagi wanita merdeka. Ia mendasa-ri pendapatnya dengan kias (analogi). Menurutnya karena sta-tus hamba sahaya adalah harta yang boleh diperjualbelikan, ma-ka seluruh milik hamba sahaya juga boleh diperjualbelikan, ter-masuk air susunya.  Akan tetapi, menurut Abdus Salam Abdur Rahim as-Sakari (ahli fiqih Mesir), pandapat Abu Yusuf ini mendapat tentangan dari para ulama lain dengan mengatakan bahwa nilai harta dalam budak tersebut adalah kehidupan budak itu sendiri, sehingga ia dapat me-layani tuannya. Adapun susunya tidak termasuk dalam perbudakan. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak ada perbedaan antara wanita yang berstatus budak dan wanita yang merdeka.

4.   Pendapat keempat dianut oleh Imam Hanafi (tokoh puncak Mazhab Hanafi), Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (sahabat Imam Hanafi), Imam al-Mawardi (ahli fiqih Mazhab Syafi'i), sebagian ulama Mazhab Hanbali, dan sebagian ulama Mazhab Maliki. Menurut mereka, tidak boleh memperjualbelikan  susu manusia dan juga tidak boleh mengkonsumsinya, karena susu yang telah terpisah dari tubuh sudah merupakan bangkai. Mere-ka menyatakan hal-hal sebagai berikut.
a.    Susu manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, dan Allah telah memelihara manusia dengan seluruh bagiannya. Memperjualbelikan susu manusia merupakan tindakan yang meleceh-kan kehormatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Tinda-kan seperti ini tidak dibenarkan dalam Islam.
b.    Susu manusia bukanlah harta yang bisa dikenakan ganti rugi apabila dirusak atau dikurangi, karena susu manusia merupakan sesuatu yang tidak bisa kurang dari asalnya. Ini berbeda dengan anggota badan lainnya, yang jika dirusak dikenakan ganti rugi kepada perusaknya. Oleh sebab itu, tidaklah tepat mengana-logikan susu kepada bagian tubuh lainnya.
c.    Jika dikatakan susu itu merupakan minuman yang sangat bermanfaat bagi bayi, bukanlah berarti hal terse-but menunjukkan bolehnya susu itu diperjualbelikan.
d.    Status susu manusia sama dengan status manfaat dari suatu benda. Karenanya dibolehkan untuk menye-wakan atau mengambil upah dari kerja menyusukan anak orang lain. Ini berbeda dengan susu sapi yang keberadaannya bukan sebagai manfaat, tetapi bernilai materi. Sebab itu, susu sapi tidak boleh disewakan seperti susu manusia, tetapi boleh diperjualbelikan.
Jika pendapat-pendapat di atas dikait-kan dengan persoalan Bank ASI yang berkembang saat ini, melakukan pengontrolan yang ketat terhadap identitas susu yang dikumpulkan (tan-pa mencampurkan susu yang berasal dari berbagai wanita) maka upaya itu bisa sejalan dengan pendapat jumhur ulama di atas. Akan tetapi, menurut Abdus Salam, kenyataan menunjukkan bahwa Bank ASI yang berkembang saat ini tidak membedakan asal susu, bahkan mencampurkan seluruh susu yang berhasil diminta atau dibeli dari donor. Oleh sebab itu, jika Bank ASI seperti ini dibolehkan, maka akan banyak muncul pelanggaran terhadap ketentuan Allah SWT tentang hubu-ngan perkawinan, berupa munculnya pasangan-pasangan sesusuan yang diharamkan menikah. Dengan demi-kian, jika ditinjau dari aspek manfaat dan mudarat, maka tampak bahwa aspek mdarat Bank ASI lebih besar. Dalam keadaan seperti ini, kaidah fiqih menyatakan  "darul mafasid muqad-damun 'ala jalbul masalih". (menolak kerusakan/ bahaya lebih didahulukan dari mengambil manfaat/ kemaslaha-tan.
Di samping itu, menurut Abdus Salam, dalam Bank ASI sulit untuk menjamin susu terbebas dari berbagai penyakit yang terbawa dari wanita donor. Oleh sebab itu, aspek bahaya dalam Bank ASI lebih besar dibanding aspek manfaatnya. Hal ini mengakibatkan Bank ASI yang berkembang di dunia saat ini tidak dapat dilegalisasi syariat Islam "sadduz zari'ah (menghindari jalan yang akan membawa pada kerusakan).

Daftar Bacaan:
1.   Ibnu Abidin . Raddul Muhtar 'ala addurul Muhtar. Cairo: al-Babil Halabi, 1966
2.   Ibnu Hazm. Al-Muhalla. Juz IX. Beirut: Darul Fikr, 1967.
3.   Ibnu Qudamah. Al-Mugni, Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.
4.   Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar. Beirut: Darul Fikr, t.t.
5.   Abdussalam Abdurrahim as-Sakari, A'da' al-Insan fi Manzur al-Islam. Cairo:Darul Misriyah li at-Tiba'ah wa at-Tauzi', 1409 H/1989 M.
6.   Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani. Subulus Salam. Bandung, Pustaka Dahlan.




-------------------------

KHILAFIYAH
Oleh K.H. Imam Zarkasyi
Pepatah mengatakan : "Manusia itu menjadi musuh dari apa yang belum diketahui-nya." Seorang yang belum pernah melihat kucing, maka pertama kali melihatnya tentu akan takut dan menganggap kucing itu musuhnya. Seorang yang tingginya hanya 1,5 m (seperti umumnya bangsa Indonesia) pada waktu pertama kali melihat orang tingginya 2 m, lebih dari biasanya orang Indonesia, atau orang yang tingginya kurang dari satu meter, berkulit putih (bule) atau merah, dsb. Tentu ia akan terkejut, takut mendekat, mengira bahwa itu bukan bangsa manusia.
Apabila ada benda jatuh bersuara keras, bagi orang yang belum kenal suara itu, tentu akan merasa takut, dan timbul perasaan takut, kalau-kalau itu bom, kalau-kalau ada orang melempari dan sebagainya. Tapi bagi orang yang sudah mengerti dan kenal suara itu, tentu akan segera mendekat dan mengambilnya, karena dia tahu yang jatuh itu adalah durian yang sudah masak.
Orang yang sudah biasa memakai kopiah hitam, pada suatu ketika melihat orang yang memakai kopiah yang tidak hitam, ia heran, menganggap aneh, jelek, dan lain sebagainya. Karena itu kita harus mempunyai ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, supaya tidak terlalu mudah heran dan memusuhi sesuatu yang bukan semes-tinya. Itulah artinya kita harus berpengeta-huan luas.
Apa khilafiyah itu?
Dalam kehidupan sosial keagamaan, kita sering menghadapi masalah-masalah yang sensitif sekali yakni masalah khila-fiyah. Kita melihat ada orang shalat dengan memakai "usalli" dan ada yang tidak. Ada yang memakai qunut tiap shalat subuh, ada yang tidak. Perbedaan-perbedaan itu dise-babkan oleh perbedaan paham tentang hukumnya, menurut ajaran/pengajian yang sampai kepada mereka. Masalah-masalah seperti itu, dinamakan masalah-masalah khilafiyah.
Masalah-masalah khilafiyah itu ha-nya di dalam masalah furu', artinya cabang atau ranting perintah-perintah agama, tidak mengenai pokok-pokoknya. Tetapi banyak orang yang kurang dapat membedakan antara yang pokok dan bukan yang pokok, sehingga banyak sekali yang mengira bahwa masalah-masalah furu' itu pokok. Atau banyak yang fanatik kepada furu yang telah dibiasakan, sehingga mengira atau menjadi-kan bahwa itu pokok. Seperti masalah "ushalli" sebelum takbiratul ihram, dan do'a qunut pada shalat subuh, pendapat kedua-duanya bukan pokok.
Jelasnya, tidak ada seorangpun ula-ma di dunia ini yang mengatakan bahwa shalat tanpa ushalli atau do'a qunut pada shalat subuh itu batal shalatnya. Dan tidak ada pula seorangpun ulama yang menga-takan bahwa orang yang shalat memakai ushalli atau do'a qunut itu batal shalatnya. Dengan contoh dan keterangan di atas, jelaslah perbedaan anatara furu' dengan pokok atau cabang dengan pokoknya.
Masalah-masalah khilafiyah da-lam Islam amat banyak. Maklumlah furu' al-masail. Cabangnya permasalahan tidak berhenti, terus timbul dan timbul, bersa-maan dengan perkembangan kehi-dupan. Orang yang mengikuti salah satu madzhab saja, masih menemui masalah-masalah khilafiyah (dalam satu madzhab itu).
Masalah khilafiyah sudah ada se-jak zaman sahabat. Maklumlah, bagaima-na setiap orang memahami suatu peratu-ran. Ini sudah lazim, selalu terjadi pada segala peraturan.
Sebenarnya pada zaman Rasul pun ada perbedaan pendapat, hanya saja karena Rasulullah ada, maka segala perbedaan itu segera ditanyakan kepada Rasulullah. Jawaban Rasulullah itulah yang menyelesaikan perbedaan faham tadi; baik itu dari wahyu (Al-Qur'an) atau dari sabda Rasulullah (hadits) sendiri.
Mungkinkah dihabiskan?
Ada yang mengira bahwa masalah khilafiyah itu bisa dihabiskan, sehingga semua umat Islam nanti hanya berfaham satu, sampai kepada masalah furu'. Pikiran seperti itu salah. Tidak mungkin masalah khilafiyah itu ditiadakan. Dalam tiap-tiap madzhab saja terdapat masalah khilafiyah, artinya ulama-ulama Syafi'i sendiri umpa-manya, banyak yang berlainan (khilaf) pendapat antara satu sama lain. Bahkan Syafi'i sendiri pernah berfatwa yang berbeda. Ada kata Imam Syafi'i yang dahulu (Qaulun qadim) dan kata Imam Syafi'i yang kemudian (Qaulun jadid). Kata Imam Syafi'i ketika di Bagdad dan kata Imam Syafi'i ketika di Mesir.
Karena masalah khilafiyah itu hanya dalam masalah furu' maka tidak perlu ada permusuhan atau perpecahan. Sebaliknya kalau ada orang yang membesar-besarkan atau mempertajam masalah khila-fiyah, maka orang itu termasuk satu di antara dua golongan berikut:
1.   Kebodohan yang terlalu
2.   Alat/musuh Islam yang hendak memecah belah umat Islam.
Perbedaan faham antara umat Islam dalam hukum fikih di Indonesia sangat kecil. Orang yang tidak tahu tentang Islam mengira bahwa perbedaan dalm masalah khilafiyah (hukum-hukum fikih dalam madzhab fikih) seperti perbedaan antara sekte-sekte dalam agama Kristen. Ini perkiraan yang tidak benar sama sekali.
Umat Islam Indonesia dalam hal yang pokok-pokok masih bersatu: satu masjid untuk shalat dan dengan imam atu. Lihat bagaimana shalat di Masjidil Haram. Satu imam dalam satu masjid, diikuti (dimakmumi) oleh orang-orang dari berma-cam-macam mdzhab.
Dalam agama Kristen ada Katolik, ada Protestan dan ada lagi lebih dari tujuh puluh sekte-sekte di Indonesia yang hampir tidak kenal mengenal satu sama lain. Gerejanyapun sendiri-sendiri, bahasanyapun sendiri-sendiri.
Khilafiah di Antara Sahabat
Ada hadits yang menjelaskan bahwa para sahabat yang disebut namanya, dijanjikan atau ditentukan atau diberikan oleh Rasulullah bahwa mereka akan masuk surga. Arti hadits tersebut sebagai berikut: "Dari sahabat Abdurrahman bin 'Auf RA, sesungguhna Rasulullah SAW bersabda: Abu Bakar, Umar, Ali, Usman, Thalhah, Zubair bin 'Awam, Abdurrahman bin Auf, Said bin Zaid bin Amru bin Tufail, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarah semuanya masuk surga." (HR. Imam Ahmad).
Di antara mereka itu terdapa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan lain-lain. Padahal di antara mereka itu, seperti Khalifah Umar bin Khattab berbuat sesuatu yang menjadi khilaf, yaitu tidak memotong tangan orang yang mencuri, pada waktu terjadi paceklik. Adapun sahabat Khalifah Usman bin Affan memakai adzan tambahan sebelum adzan Jum'at menjadi dua kali, dll.
Dengan mengingat hal-hal tersebut di atas nyatalah masalah khilafiyah itu tidak ada hubungannya dengan masuk surga. Jadi me-ngerjakan masalah khilafiyah atau mening-galkan bukanlah merupakan hal yang pokok.
Alhamdulillah, dengan kemajuan zaman dan lancarnya hubungan komunikasi antar umat Islam, menjadi pergaulan dunia Islam dan percakapan hukum Islam menjadi lebih dekat lagi; dengan kata lain memu-dahkan saling pengertian. Juga dengan keluasan ilmu para ulama, suasana tasamuh dalam masalah khilafiyah menjadi lebih mudah.
Mari kita perhatikan beberapa contoh:
1.   Sekitar tahun 1930, khilaf antara khutbah Jum'at dengan bahasa dae-rah/ Indonesia atau diterjemahkan, masih sangat besar dan rupanya ada yang membesar-besarkan. Maklum pada waktu itu di bawah jajahan Belanda dan ada orang mempertajam khilaf itu. Sekarang Alhamdulillah hampir sudah tidak ada lagi percaka-pan tentang itu. Bahkan baru-baru ini telah diadakan Mu'tamar Masjid di Makkah yang dihadiri ulama-ulama dari negeri-negeri Islam. Mereka memutuskan bahwa khutbah Jum'at memakai bahasa daerah masing-masing diperbolehkan/dibenarkan. Hanya syarat dan rukun-rukunnya tetap memakai bahasa Arab.
2.   Orang yang shalat Tarawih di Masjid Madinah, mula-mula imam shalat dimakmumi oleh seluruh yang ada di dalam masjid. Setelah mendapat 8 rakaat, yang madzhab-nya delapan rakaat mundur mene-ruskan sendiri witirnya. Sedang imam berjalan terus sampai 20 rakaat. Orang yang bermadzhab 20 rakaat mundur meneruskan witirnya sendiri. Sedangkan imam berjalan terus sampai 36 rakaat. Demikian shalat Tarawih berjalan aman tanpa gangguan, tanpa salah menyalahkan.
3.   Orang yang telah haji sekarang akan mengalami dan melihat shalat di Masjidil Haram dengan satu imam, sedang yang makmum orang dari beraneka ragam madzhab. Shalat berjalan aman tanpa masalah.
Catatan:
  1. Bagaimana tasamuhnya Imam Syafi'i terlihat pada kisah berikut ini. Pada suatu ketika Imam Syafi'i setelah bermukim di Mesir berziarah ke Bagdad. Di Bagdad ia mendapat sambutan dari pengikut-pengi-kutnya, dan dipojokkan untuk menjadi imam shalat Subuh. Ternyata, beliau tidak memakai "qunut" sesudah itu, ribut-ributlah pengikutnya bertanya-tanya, mengapa Imam Syafi'i tidak memakai qunut? Maka Imam Syafi'i pun menjawab kepada mereka "taadduban". Bacalah cerita ini dalam kitab "Al-Wahidah al-Islamiyah". Jadi, Imam Syafi'i bukan plin-plan, tetapi karena beliau tahu bahwa masalah qunut bukan masalah pokok. Sedang Imam Syafi'i sendiri lama hidup dan belajar di Bagdad, sampai pada waktu beliau ziarah itu, masih banyak guru dan pengikut gurunya yang tidak sefaham dengan beliau di situ.
  2. Mungkin disengaja atau tidak, mirip dengan peristiwa itu, ketua umum Majlis Ulama Indonesia HAMKA ketika berziarah dan berda'wah di kota Blitar, ketika itu diminta untuk menjadi imam shalat Subuh, beliau bertanya bagaimana imam di masjid ini; pakai qunut atau tidak? Dijawab oleh mereka "pakai". Maka HAMKA pun menjadi imam shalat Subuh lengkap dengan do'a qunut. Padahal Hamka sendiri termasuk pemimpin Muhammadiyah yang biasa tidak mema-kai qunut. Tetapi beliau tahu bahwa bukan mutlak dilarang. Jadi rupanya Hamka tahu bahwa qunut bukanlah pokok.
  3. Pada sidang Majlis Ulama se Jawa Timur di Surabaya, ketika ada orang yang menganjurkan untuk tidak mempertajam masalah khilafiyah, maka K.H. Ahmad Siddiq tokoh Nahdlatul Ulama se Jawa Timur dari Jember berkata: "Sudahlah, masalah itu jangan dibicarakan lagi. Masalah khilafiyah sudah ada sejak zaman dahulu, artinya tidak ada gunanya lagi kita mengusik-usik masalah khilafiyah itu."  

Penutup
            Walhasil, umat Islam harus berla-pang dada, bermurah hati, bertasamuh sesama umat Islam yang berbeda faham dalam hal khilafiyah. Kalau pemerintah, juga menganjurkan tasamuh dengan orang yang berlainan agama, lebih wajib lagi umat Islam sesama umat Islam. Andaikata bersitegang urat leher dengan orang kafir yang hendak menundukkan kita ada pantasnya. Seperti bunyi ayat: "Assyiddau 'alal kuffar, ruhamau bainahum."
            Jangan terbalik karena hasutan dajjal dan musuh, yang menjadikan umat Islam lebih bermusuhan dengan sesama umat Islam daripada dengan orang kafir. Orang yang sudah mau shalat, lalu shalatnya belum sama benar dengan shalat kita, tidak usah kita musuhi, tidak usah kita marahi, tidak usah kita ejek.
            Kalau benar yang dianjurkan itu jalan Allah, maka ayat yang berbunyi: "ud'u ila sabili rabbika bil hikmah wal mau'idlah al hasanah" masih berlaku sampai sekarang.
            Sekali lagi, ayat ini masih berlaku sampai sekarang yang artinya harus bijaksana. Dan bagaimana sikap kita dalam mendidik anak-anak? Dalam mengajarkan shalat dalam ilmu pendidikan dilarang mem-bawa masalah-masalah khilafiyah. Jangan-kan masalah khilafiyah, menjelaskan antara yang sunat dan yang wajib saja belum diperlukan. Yang pokok, anak kita ajari shalat dengan sebaik mungkin. Apabila anak itu nanti tumbuh dewasa, dapat dijelaskan mana yang sunah , mana yang wajib, mana yang makruh dan mana yang membatalkan.

Dikutif dari Majalah Gontor Desember 2004/ Syawwal 1425.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar