“Sebelum menikah, kadang seorang wanita berharap calon suaminya kelak akan berubah setelah menikah, tetapi ternyata dia tidak berubah. Sebaliknya, seorang pria kadang berharap calon istrinya kelak tidak berubah setelah menikah, tetapi ternyata berubah.”
Seorang teman yang kerena begitu cintanya kepada pria kekasihnya, mandah selalu memaklumi seperti apa pun sifat dan perilaku kekasihnya. Meski dia tahu pacarnya temperamen, sedikit ringan tangan, dan berperilaku negatif lain, dia tetap mencoba mempertahankan hubungan sambil berharap cinta bisa mengubah segalanya. Dia seolah begitu yakin bahwa kekasihnya akan berubah seiring berjalannya waktu setelah menikah kelak. Ketika pernikahan benar-benar terwujud, ternyata kekasih hati yang kini menjadi suaminya tetap eksis dengan perilakunya yang kasar dan ringan tangan. Bahkan, mungkin karena rasa memiliki yang begitu tinggi, membuat pasangan hidupnya seolah berhak melakukan apa pun terhadap istrinya, termasuk memukul dan berperilaku kasar lain.
Realita ini bisa menjadi pembenaran pernyataan bahwa sebelum menikah seorang wanita biasanya berharap calon suaminya kelak akan berubah setelah menikah, tetapi ternyata dia tidak berubah. Lalu, bagaimana dengan pria?
Seorang pria sebelum menikah sering hanya memandang fisik wanita. Seperti kisah Faris dan Farah di acara “Masihkah Kau Mencintaiku?” yang ditayangkan RCTI. Mereka sempat berpacaran sekitar lima tahun sebelum akhirnya menikah. Sebuah perkenalan yang cukup lama. Tidak dipungkiri, salah satu daya tarik Farah di mata Faris adalah kecantikannya, apalagi tubuhnya waktu itu masih langsing. Farah betul-betul memikat Faris dengan kecantikan dan postur tubuhnya yang nyaris sempurna. Namun, kondisi itu berubah ketika Farah melahirkan anak ketiga mereka. Tubuh Farah mulai melar dan mengalami obesitas. Di sinilah persoalan mulai muncul.
Mungkin, pada awalnya Faris merasa malu bila harus mengajak Farah di acara-acara kantornya karena membawa istri yang bobotnya berlebih menurutnya. Apalagi dia seorang direktur sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Faris juga mengaku menjadi kurang bergairah melihat perubahan fisik istrinya ini. Ujung-ujungnya, Faris akhirnya menikah lagi dengan wanita lain yang menurutnya lebih langsing dan seksi.
Tentu saja Farah tidak bisa menerima perlakuan suaminya ini. Dia merasa selama ini sudah berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya, melayani suami semampu yang bisa dia berikan. Dia juga berusaha keras membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Mungkin karena kesibukannya itulah sehingga dia lupa mengurus dan mengontrol perubahan fisiknya.
Sementara suaminya mengaku sudah meminta istrinya untuk lebih mengurangi bobot tubuhnya dan memberikan dana tambahan untuk program diet. Namun, dia tidak menemukan perubahan berarti di tubuh istrinya hingga membuat gairahnya terhadap istri berkurang.
Siapa yang Salah?
Salahkah seorang pria mengagumi kecantikan dan keseksian seorang wanita? Tentu saja tidak karena inilah pesona yang diberikan Allah kepada makhluk lembut bernama wanita. Akan tetapi, salah besar bila kemudian “kecantikan fisik” ini menjadi satu-satunya standar kualitas seorang wanita. Seorang pria menjadi salah mengartikan makna “kecantikan wanita” bila standarnya hanya pada yang kasat mata. Begitupun wanita, salah besar bila mengaktualisasikan kecantikan dirinya hanya dengan mengandalkan kecantikan fisik.
Ada yang mengibaratkan wanita sebagai lukisan. Raga wanita adalah lukisan realis, sedangkan jiwa, hati, dan pikirannya adalah lukisan abstrak. Semua itu bergabung menjadi satu dalam bentuk yang utuh sehingga untuk mengagumi yang satu, yang lain pun harus dipahami. Kekurangan pada salah satunya bisa ditutupi dan didukung oleh yang lainnya, begitupun sebaliknya. Ada orang yang berwajah biasa-biasa saja, tetapi entah mengapa dia tampak menarik. Mungkin inilah yang disebut “inner beauty”. Sebaliknya, ada yang berwajah cantik, tetapi tidak menarik. Bila memiliki wajah yang tidak cantik dan tidak pula tampak menarik, itu apes namanya. Akan tetapi, Allah pasti adil dalam menciptakan manusia. Seperti apa pun kondisi fisik dan karakter seseorang insya Allah tetap ada jodohnya.
Standar Kecantikan
Cantik sangatlah relatif dan personal, tergantung siapa yang melihat serta latar budaya dan geografisnya. Misalnya di Amerika Serikat, cantik adalah mereka yang memiliki penampilan alami, kulit bercahaya, bibir lembab berkilau, pipi indah, dan berrambut lebat dan sehat. Sedangkan Rusia, memandang wanita cantik berarti berkulit cerah, rambut pirang kecokelatan serta wajah oval atau bundar.
Jika di Spanyol cantik berarti memiliki kulit kecokelatan alias terbakar sinar matahari dengan rambut lebat yang gelap berkilau, di Thailand malah sebaliknya, cantik di Thailand berarti berkulit putih dan langsing. Sedangkan Inggris, konon lebih mementingkan inner beauty. Kecantikan selalu dihubungkan dengan kepribadian, yang memiliki pribadi lebih menyenangkan dianggap lebih “cantik” dari yang lain. Masih banyak lagi standar berbeda tentang kecantikan dari setiap negara di dunia.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Berkulit putih, rambut lurus, tubuh langsing tampaknya menjadi standar cantik di negara kita. Salah satu buktinya, produk pencerah kulit (whitening) selalu laku keras diserbu pembeli. Begitupun iklan shampoo, hampir selalu di iklankan oleh wanita berambut hitam berkilau dan lurus.
Bukan hanya standar yang berbeda, definisi “cantik” pun ternyata berubah-ubah seiring perubahan zaman.
Pada zaman Monalisa, gadis gendut dianggap seksi. Konon, pada zaman kerajaan di Nusantara ini, wanita cantik juga digambarkan bertubuh gemuk. (bisa dilihat di relief dan arca beberapa candi di Indonesia) Wanita pada zaman itu dihargai karena keturunan dan kesuburannya. Gemuk dianggap sumber kesuburan dan bakal bisa memberikan banyak anak. Apalagi waktu itu mayoritas masyarakat berekonomi lemah sehingga makanan menjadi barang langka. Hanya orang yang hidup berkecukupan yang bisa menikmati makanan enak dan bisa gemuk.
Marlyn Monroe, berrambut pirang, bodinya bak gitar, menjadi ikon kecantikan tahun 50-an. Twiggy, tinggi kurus, wajahnya imut, rambutnya cepak, menjadi model terkemuka tahun 60-an. Eva Evangelista, Liz taylor, Joan Collins, menjadi ikon kecantikan wanita tahun 80-an. Ternyata, cantik tidak harus pirang. Tahun 90-an, dunia kecantikan diisi oleh Christy Turlington, Cindy Crawford, Claudia Schiffer, Elle Macpherson. Ikon cantik pada waktu itu berarti langsing, tetapi bukan kurus kering.
Kate Moss pada tahun 2000-an dianggap sebagai ikon kecantikan wanita. Rupanya kembali ke zaman Twiggy, cantik berarti kurus kering dan pucat. Gisele Bundchen dan Heidi Klum dianggap mewakili kecantikan zaman sekarang. Cantik itu berarti tinggi, langsing, dan sedikit berisi dengan rambut panjang dan pirang.
Ada satu lagi ikon kecantikan yang begitu melegenda lebih dari 2000 tahun lalu, yaitu kecantikan Ratu Cleopatra. Dalam sejarah Mesir Kuno ada tujuh ratu yang bernama Cleopatra. Yang paling terkenal dan tercantik adalah Cleopatra VII. Sedemikian jelitanya ratu yang satu ini hingga mampu memikat hati dua penguasa Romawi, yaitu Julius Caesar dan Mark Anthony. Cleopatra memiliki tiga anak dari kedua kaisar ini.
Daya tarik Cleopatra ini bahkan membuat Triumvirate (tiga penguasa) Romawi terlibat pertikaian satu sama lain. Demi mendapatkan Cleopatra, Mark Anthony rela meninggalkan istrinya yang merupakan adik Octavianus. Hal ini membuat Octavianus marah besar. Dia kemudian menyerang Mark Anthony dan Cleopatra dengan menggunakan armada tempurnya dan berakhir dengan kekalahan di pihak Mark Anthony dan Cleopatra hingga membuat mereka berdua bunuh diri.
Kecantikan Cleopatra bukan hanya membuat decak kagum, tetapi juga membuat banyak orang penasaran seperti apa sebenarnya kecantikan Ratu Mesir ini. Berbagai penelitian pun dilakukan para ahli sejarah. Berdasarkan koin perak yang dipamerkan di museum Sefton, Newcastle University, ternyata Cleopatra tidaklah secantik yang kita kira. Cleo di sana digambarkan sebagai wanita berdahi pendek, dagu runcing, bibir tipis dan hidung betet. Namun, tampilan gambar Ratu yang seperti itu menjadi perdebatan di kalangan akademis.
Sementara berdasarkan patung Cleopatra yang dipamerkan di Museum Inggris pada 2001 menunjukkan Ratu Mesir itu tingginya tidak lebih dari 5 feet (152 cm) dan bertubuh agak montok.
Namun, penelitian terakhir yang dilakukan oleh Sally Ann Ashton, ahli purbakala tentang Mesir, sangat berbeda dengan pendapat tersebut. Hasil penelitian yang dilakukannya selama satu tahun ini dianggap paling realistis dari semua penelitan yang ada. Gambar yang dituangkan pada komputer 3D ini menunjukkan sosok wanita cantik dengan wajah etnik campuran yang sangat berbeda dengan versi kebarat-baratan seperti Elisabeth Taylor yang menjadi Cleopatra dalam film tahun 1961. Cleo ternyata masih memiliki darah keturunan Afrika dan Yunani. Ada sedikit darah Barat, tetapi kemungkinan itu dari nenek moyang yang sudah jauh urutannya. “Penelitian itu menghasilkan gambar seorang wanita dengan kecantikan yang sangat menonjol, kecantikan dengan raut mix etnik,” kata Dr. Sally Ann Ashton dari Cambridge University.
Lepas dari perdebatan seperti apa kecantikan Cleopatra yang sebenarnya, ada hal lain yang dimiliki Cleopatra yang membuatnya terkenal, yaitu kepintarannya yang melebihi kepintaran wanita pada umumnya waktu itu. Konon ceritanya dia menguasai tujuh bahasa dunia, memiliki minat besar terhadap ilmu filsafat dan menulis buku ilmu pengetahuan. Bahkan, ada sebuah sumber yang mengatakan kalau Cleopatra adalah pakar matematika dan perniagaan. Dia tidak pernah mau melakukan sesuatu tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Cleopatra juga politikus yang hadal. Dia satu-satunya Ratu yang telah membangunkan negaranya dari keterpurukan ekonomi dan merebaknya korupsi, Ratu yang aktif serta menjauhkan Mesir dari Romawi selama 20 tahun dengan kecerdikan sikap politiknya.
Kisah Cleopatra bisa menjadi salah satu cermin bahwa seorang wanita juga mampu membangun peradaban. Dengan segala kepintaran dan sikap hidupnya membuat kecantikan Cleopatra seolah abadi meski 2000 tahun telah berlalu. Sangat berbeda dengan realita yang menimpa kaum hawa saat ini, mereka yang meraih popularitas hanya karena fisiknya, rata-rata akan pupus tertelan massa. Popularitas yang biasanya didambakan kaum hawa lewat manipulasi fisik adalah sesuatu yang semu karena esensi keberadaan seorang wanita sebenarnya lebih dari itu.
Cantik yang Menyiksa Wanita
Menjadi cantik adalah dambaan setiap wanita karena fitrah wanita memang menyukai kecantikan dan keindahan. Untuk mendapatkan pengakuan “cantik” ini banyak wanita yang kemudian menyiksa diri. Contohnya, seperti wanita pada zaman Dinasty Ming yang harus rela dipatahkan jari-jari kakinya demi mendapatkan kaki berukuran kecil. Beda lagi dengan penduduk Mongolia dan Tibet yang menganggap wanita cantik adalah yang berleher jenjang. Semakin panjang leher semakin cantiklah dia. Oleh karena itu, wanita di sana rela mengisi lehernya dengan banyak kalung timah yang mengikat erat di leher mereka sejak kecil. Semakin bertambah usia, jumlah kalung di leher mereka pun semakin bertambah sehingga membuat leher seolah tertarik ke atas.
Sampai saat ini pun masih terus ada wanita-wanita yang rela menyakiti dirinya demi tampil cantik. Naomi Wolf, penulis buku Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Wanita, menuliskan dalam bukunya itu tentang banyaknya kaum wanita di Amerika, khususnya remaja, yang menderita Bulimia dan Aneroxia sebagai korban “mitos kecantikan” yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat lewat berbagai media. Anorexia Bulimia adalah gangguan makan yang dapat berdampak besar pada tubuh. Anorexia Bulimia dapat menyebabkan cedera pada esofagus (tabung yang menghubungkan mulut dan lambung) karena siklus berulang-ulang muntah. Pemujaan terhadap berat badan ini membuat banyak wanita menyakiti diri mereka dengan melakukan diet ketat hingga membuat mereka fobia terhadap makanan.
Demi mengejar “citra kecantikan” ini, ada sebagian wanita yang sampai merelakan tubuhnya menjadi bahan kreativitas para dokter di atas meja operasi plastik dan bedah kosmetik. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum wanita menimbulkan kekerasan hak asasi terhadap tubuh wanita. Kaum wanita tidak memiliki kebebasan untuk merasa nyaman dan jujur dengan tubuhnya. Meskipun gerakan feminisme pada awal 1970 berhasil meraih hak-hak hukum dan reproduksi bagi wanita, juga untuk mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi ternyata kaum wanita masih terbelenggu dengan citra kecantikan. Mitos kecantikan selama ini telah digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum wanita dengan menyebut sebagai “citra kecantikan wanita”. Setiap hari kaum wanita diyakinkan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum wanita dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan. Sebuah pemujaan yang pada akhirnya menyakiti fisik wanita sekaligus menyerang psikisnya.
Setelah melalui kesakitan dan penderitaan demi menjadi “cantik”, apakah masalah mereka selesai? Ternyata tidak. Pada bab terakhir bukunya, Naomi Wolf menuliskan, “Setelah melampaui mitos kecantikan, wanita tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Wanita akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Wanita “cantik” tetap tidak menang di atas mitos kecantikan”.
Yah, berbicara tentang kecantikan wanita sepertinya tidak akan pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini. Ketika membahas kecantikan wanita, satu pertanyaan yang muncul adalah, untuk siapa kecantikan wanita dan menurut siapa? Wanita selama ini selalu diposisikan sebagai makhluk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang wanita diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan sehingga wanita hanya punya dua pilihan, memiliki pikiran atau memiliki kecantikan. Mau menjadi wanita pintar tapi tidak cantik atau wanita cantik tapi bodoh. Kondisi ini seperti membuat kotak tersendiri. Hanya beberapa wanita saja yang tetap sadar dan berupaya keluar dari kotak yang telah dibangun untuk mengurung mereka. Pada para wanita inilah makhluk di dunia berlutut dalam ketakutan dan kekaguman. Hanya cinta sejati yang dapat menyamakan kedudukan mereka dengan kesempurnaan ini.
Seperti Apakah Kecantikan Hakiki?
Melihat realita bahwa standar cantik ternyata berbeda-beda di setiap wilayah dan akan berubah-ubah seiring waktu, haruskah kita mengikuti trend cantik? Masihkah ingin mengejar “kecantikan” sedangkan sulit menentukan standar “keindahan objektif” ketika nilai-nilai keindahan terus berubah? Kalau tubuh kita sakit, kita wajib mengobati tubuh kita. Kalau tubuh kita kotor, bau, dan berkeringat, wajib dibersihkan karena kebersihan adalah ruh kecantikan. Akan tetapi, kalau kita dianggap tidak cantik, haruskah wajah dan tubuh kita dipermak? Apalagi kalau proses menjadi cantik itu kemudian malah menyiksa diri kita. Jangan sampai kita mengorbankan kesehatan demi “keindahan” yang mungkin dianggap membantu menarik hati lawan jenis.
Seberapa pentingkah kecantikan fisik ini dibandingkan dengan faktor lainnya? Jangan sampai kecantikan fisik ini membuat kita menafikkan sumber kecantikan lain yang kita miliki, yaitu kecantikan jiwa dan hati serta kecantikan akal dan pikiran.
Mengenai hal ini, Andrew Ho, juri sebuah ajang pemilihan ratu kecantikan Miss Chinese Cosmo Pageant 2005 mengatakan, “Penampilan memang penting agar seorang wanita terlihat rapi, cantik, dan menarik. Namun, ada karakteristik lain yang lebih penting, yaitu selalu berpikiran positif, memiliki cinta dan kasih sayang baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang sekitar, memiliki kedamaian spiritual untuk menemukan harapan baru, optimisme, dan kebahagiaan hakiki. Kecantikan yang berasal dari kemurnian hati dan jiwa lebih mudah menjadi pusat kekaguman banyak orang. Semakin banyak cinta yang Anda pancarkan tanpa syarat, semakin tinggi aura kecantikan yang Anda miliki.”
Hal ini selaras dengan pernyataan Ibnu Abbas, “Sesungguhnya amal kebaikan itu akan memancarkan cahaya di dalam hati, membersitkan sinar pada wajah, kekuatan pada tubuh, kelimpahan dalam rezeki, dan menumbuhkan rasa cinta di hati manusia kepadanya. Sesungguhnya, amal kejahatan itu akan menggelapkan hati, menyuramkan wajah, melemahkan badan, mengurangi rezeki, dan menimbulkan rasa benci di hati manusia kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Rasulullah Saw. pun pernah menyebutkan pentingnya kecantikan hati dalam sabdanya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik kalian dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati kalian.” (HR Muslim)
Olek karena itulah, Islam memandang puncak kecantikan wanita berbanding lurus dengan tingkat ketundukan dan kepasrahannya kepada Allah Swt. karena kecantikan hakiki dan ideal adalah kecantikan yang bersumber pada dimensi ilahiah (hati). Bahkan, hati inilah yang akan menjadi penentu keselamatan seorang hamba ketika menghadap Allah kelak, seperti firman Allah Swt. berikut ini.
“(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syuaraa, 26:88-89)
Semua ini menunjukkan keunggulan kecantikan jiwa dan hati dibanding kecantikan lain. Mengapa demikian? Karena inilah kecantikan yang hakiki. Kecantikan jiwa dan hati akan abadi dan tidak akan lapuk dimakan usia. Kecantikan jiwa tidak hanya dapat dilihat dengan mata kepala kita melalui pancaran keikhlasan jiwa pemiliknya, tetapi juga dapat dirasakan dengan mata hati kita.
Sedangkan kecantikan akal dan pikiran akan membuat pemiliknya cerdas, kreatif, inovatif, mampu mengaplikasikan pemikiran dengan benar, bijak dalam mengambil keputusan, dan tepat dalam bertindak.
Idealnya, kita bisa memiliki ketiga kecantikan, baik kecantikan jiwa, akal, dan fisik. Namun, kalau toh tidak bisa memiliki ketiganya, setidaknya kita bisa mengusahakan untuk memiliki dua kecantikan, yaitu kecantikan jiwa dan akal. Seandainya kedua kecantikan ini pun masih sulit kita miliki, berusahalah menjadi wanita yang dipenuhi dengan kecantikan hati dan jiwa.
Namun, realita yang kita hadapi sekarang terlanjur menuntut wanita untuk cantik sepenuhnya secara fisik. Propaganda media telah menempatkan kata “cantik” pada tempat yang salah sehingga banyak yang melalaikan hakikat cantik yang sesungguhnya. Akibatnya, kaum wanita kini disibukkan dengan memoles kulit luar tanpa peduli pada hati mereka yang kian gersang.
Seperti yang terjadi dengan pasangan Faris dan Farah. Bisa jadi mereka adalah korban propaganda citra kecantikan yang banyak didengungkan oleh berbagai media bahwa cantik berarti bertubuh langsing dan seksi. Faris pun merasa malu ketika memiliki istri yang bertubuh subur, apalagi kalau harus mengajak istrinya pergi bersama ke acara-acara yang melibatkan rekan-rekan kantornya. Farah kemudian menjadi korban yang menderita baik lahir maupun batin. Secara fisik dia terus melakukan upaya diet demi mencapai standar langsing dan seksi dambaan suaminya, satu hal yang tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan tersendiri dengan merasakan sakit akibat proses diet ini. Di sisi lain dia menderita pula secara batin dengan dipolygami oleh suaminya.
Istri memang memiliki kewajiban untuk tampil cantik hanya di hadapan suami, bukan di hadapan pria lain. Dia harus bisa mematut diri agar tampil segar dan bersih di depan suami sehingga suami merasa senang dan tidak kehilangan gairahnya terhadap istri. Meski demikian, bukan berarti seorang istri harus habis-habisan mengubah penampilan dengan menyiksa diri, apalagi kalau sampai mengubah ciptaan Allah yang jelas-jelas dilarang oleh Allah.
Di sinilah pentingnya memahami hakikat kecantikan. Kesadaran untuk memahami “hakikat kecantikan” yang sesungguhnya bukan hanya harus dimiliki oleh seorang wanita, tetapi juga harus datang dari kaum pria. Kalau wanita ingin menampilkan kecantikan hati dan jiwanya sehingga sibuk menebar kebaikan dan cinta di sekitarnya—yang mungkin kadang melalaikannya untuk mempercantik diri secara fisik—tetapi dari pihak lawan jenis tetap menuntut wanita tampil cantik secara fisik, tentu tidak akan ada titik temu.
Memenuhi dua standar kecantikan sekaligus tidak mudah, meski bukan berarti harus menafikkan salah satunya. Akan tetapi, seharusnya kaum pria pun menyadari untuk melihat wanita bukan hanya sebatas fisik, sehingga kaum wanita dapat berkembang optimal potensi dirinya tanpa dibayang-bayangi dengan tuntutan fisik yang berlebihan.
Biarkan kaum wanita merdeka atas diri dan tubuhnya, bebas menjadi dirinya bukan hanya sebatas fisik. Apalagi banyak tanggung jawab yang diemban kaum wanita selain hanya mempercantik diri secara fisik. Kaum wanita bisa meraih karier terbaik sesuai potensi dirinya, bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, bisa menjadi istri yang setia dan taat kepada suaminya, bahkan menjadi single fighter sekalipun ketika harus menjadi janda, dan masih banyak hal lain yang bisa dilakukan baik untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar